Gak kerasa udah tahun 2024, dan gak cuma tahun 2024, tapi udah bulan April.
Hampir 1 tahun gue gak nulis blog, tapi di tahun ini, gue setidaknya sudah memantapkan hati untuk menulis sedikitnya 5 cerita. Mari kita mulai dari cerita pertama.
Apa yang terjadi ketika seseorang yang suka menyampaikan perasaanya punya pasangan yang sifatnya cuek dan sulit mengungkapkan perasaannya?
Pertanyaan ini tentu belum bisa dijawab dengan pasti, karena nyatanya sampai ini masih jadi pertanyaan besar buat gue pribadi. Lalu muncul pertanyaan baru, bagaimana kalau sebenarnya kita disayang tapi kita gak tau?
Bagaimana kalau ternyata, orang cuek yang selama ini jadi pasangan kita adalah orang yang hangat dan penuh perhatian, namun karena sifat cueknya, dia gak bisa menampilkan itu?
Apa yang harus kita lakukan kalau kita ada di posisi ini? Di satu sisi pasti ada perasaan ragu dan takut bahwa si cuek sudah tidak ada perasaan apa-apa, atau mungkin sudah berpaling.
Apakah kita masih harus percaya bahwa kita sebenarnya disayang? Tapi kalau memang kita benar-benar disayang, kenapa dia gak bisa menampilkan itu? Apakah hanya karena cuek? Atau karena dia gak ingin?
Sampai kapan kita akan membohongi diri sendiri dan percaya bahwa si cuek akan selalu menyimpan kita di hatinya? Sementara validasi semudah "aku sayang kamu" saja sulit didapatkan? Sampai kapan kita harus "pura-pura" baik-baik saja sementara hati gak yakin bahwa dia masih menyimpan perasaan yang sama?
Menyakitkan untuk memikirkan hasil akhirnya. Karena sebenarnya apa yang bisa membuat orang cuek bisa menampilkan perasaannya? Kenapa sulit rasanya bisa menerobos tembok cuek itu?
Apakah orang cuek memang tidak ingin orang lain tahu bahwa ia adalah sosok yang penuh rasa kasih sayang dan perhatian? Ada apa? Apa yang membuat si cuek bisa bersikap sedingin ini? Bahkan pada orang yang mungkin sudah menjadi pasangannya sejak lama.
Sebuah dilema bukan? Bagaimana kira-kira akhir dari kisah cinta dari 2 orang yang sifatnya berbeda ini?
Lagi-lagi pertanyaan itu belum bisa gue jawab. Tapi yang gue yakini adalah, semua pasangan bisa bertahan lama karena rasa toleransi yang besar. Dalam cerita ini misalnya, orang yang dengan mudah mengungkapkan perasaannya ini bisa memaklumi sifat si cuek. Dan sebaliknya, si cuek bisa memahami perasaan pasangannya.
Tapi sejauh mana toleransi itu bisa dimaklumi? Menurut gue, kita harus lihat dari dua kacamata yang berbeda.
Kalau dari kacamata orang yang suka menyampaikan perasaaanya, pasti ada momen di mana dia ingin divalidasi, ada momen ia ingin disebut sebagai pasangan si cuek, ada kebanggan tersendiri jika si cuek bisa menunjukkan perasaaanya. Gak perlu dengan hal besar, cukup 3 kata, "aku sayang kamu" rasanya sudah cukup.
Tapi bagaimana dengan si cuek? Mungkin saja si cuek merasa bahwa hal-hal seperti ini tidak perlu diungkapkan. Gak perlu semua orang tahu. Cukup si cuek yang merasakan ini.
Kalau begitu, bukankah ini tidak adil untuk karakter yang suka menyampaikan perasaannya? Bukankah hal ini akan membuat karakter yang suka menyampaikan perasaannya merasa tidak disayang? Merasa sendirian? Merasa bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan?
Sayangnya, gue ga bisa menjelaskan banyak dari kacamata si cuek. Karena, ya. Dalam cerita ini, gue lebih relate dengan karakter si suka menyampaikan perasaan. Makanya, kalau dilihat-lihat, banyak banget POV dari sisi suka menyampaikan perasaan. Mungkin gue harus lebih banyak mengulik karakter si cuek.
Yang juga amat disayangkan adalah, semua pertanyaan yang muncul di tulisan ini belum ada jawabannya. Semoga, semoga, gue bisa menjawab ini semua. Entah kapan, tapi semoga ada jawabannya.
-Aghniueo, 2024